Kamis, 19 Desember 2013

Telaah Eksistensi ICMI

"+"

MENELUSURI KIPRAH
IKATAN CENDIKIAWAN MUSLIM INDONESIA (ICMI)
DALAM POLITIK NASIONAL (1990-2005)[1]





A.     LATAR BELAKANG MASALAH

Sebagai kelompok mayoritas, para intelektual muslim telah memiliki peran penting dalam upaya melepaskan bangsa Indonesia dari cengkraman kolonialisme. Tetapi, hal itu tidak serta merta menjadi garansi bagi mereka untuk menduduki puncak kekuasaan di negara ini. Di awal kemerdekaan, kursi kepresidenan diduduki Soekarno yang berideologi nasionalis-sekuler. Walaupun Soekarno beragama Islam, tetapi keislaman dia berbeda dengan mainstream umat Islam di Indonesia. Dalam term Geertz, dia termasuk dalam kategori “Islam abangan”— suatu sikap keagamaan yang menitikberatkan pada aspek-aspek animistis dan sinkretisme Jawa yang menyeluruh dan secara luas dihubungkan dengan unsur petani.[2] Kiprah intelektual muslim di masa itu memang ada, hanya saja tidak bisa optimal. Ini terkait dengan kentalnya politik aliran ketika itu. Tarik menarik kepentingan antara Islam-Kristen-nasionalis-komunis terus menghiasi lembaran demi lembaran perpolitikan Orde Lama. Puncaknya adalah tragedi 30 September 1965 yang hingga kini masih misterius.
Sejak tahun 1966, bola kekuasaan kemudian beralih ke tangan Soeharto dengan barisan mileternya, sekaligus menjadi gong pembuka lahirnya Orde Baru. Pada Orde Baru inilah sebetulnya harapan masyarakat Indonesia disematkan. Kekacauan politik dan disharmoni sosial di era Orde Lama menjadikan masyarakat menyambut dengan “sorak-sorai” kelahiran Orde Baru. Namun apa di kata, harapan tinggal harapan, fakta di lapangan ternyata mengatakan berbeda. Stabilitas politik dan harmoni sosial ternyata hanya menjadi angan-angan belaka. Rezim Orde Baru ternyata mewarisi “gen” politik otoriter Orde Lama, bahkan lebih sangar. Terbukti sejak berkuasa, rezim ini telah menghilangkan jutaan jiwa[3] (lihat lampiran).
Selain tindakan represif, Orde Baru juga membatasi aktivitas sosial-politik-keagamaan umat Islam.[4] Di antaranya adalah penolakan rehabilitasi Masyumi, sebuah partai yang pernah dilarang oleh Soekarno pada tahun 1960, yang diikuti dengan kebijakan penciutan partai-partai Islam menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sejak 5 Juni 1972.[5] Sedangkan dalam wilayah sosial-keagamaan, pemerintah menerapkan kebijakan “wajib lapor” kepada siapa saja yang akan melakukan sebuah kegiatan. Peraturannya adalah “semua pertemuan yang melibatkan lebih dari lima orang harus mendapat izin dari polisi.” Bahkan Imaduddin Abdulrachim sendiri, salah aktor pendiri ICMI, pernah ditangkap oleh aparat keamanan dan ditahan selama empatbelas bulan tanpa melalui proses pengadilan karena dituduh sebagai “fundamentalis dan anti-Katolik”.[6]  
Tetapi sungguh tidak disangka! Kondisi di atas sama sekali berbalik 180 derajat ketika pada tanggal 6 Desember 1990 di Malang, dengan mengenakan pakaian tradisional ala santri[7] sembari mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, Presiden Soeharto menabuh bedug sebagai tanda dibukanya Simposium Nasional yang bertajuk “Cendekiawan Muslim: Membangun Masyarakat Abad XXI”.[8] Tanggal 7 Desember kemudian ditahbiskan menjadi kelahiran ICMI. Konon, simposium yang berlangsung tiga hari itu dihadiri sedikitnya 500-an cendekiawan muslim seluruh Indonesia.[9]
Gong pembukaan simposium dan kongres I ICMI itu menunjukkan bahwa pemerintah mulai menyadari bahwa Islam merupakan kekuatan politik yang tidak bisa dikesampingkan. Pemerintah juga sadar bahwa upaya memarginalisasi peran Islam, sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia, merupakan tindakan yang kontra-produktif. Terutama setelah melihat kenyataan bahwa kelangan intelegensia umat Islam yang merupakan produk Orde Baru ternyata mempunyai potensi intelektual dan kecakapan skill yang bisa diandalkan dalam suksesi proyek pembangunan yang sedang digalakkan pemerintah.
Kemunculan lembaga ini mendapat respon dari sejumlah kalangan. Pro-kontra pun menghiasi berbagai media massa. Gus Dur, misalnya, secara terang-terangan menolak ICMI karena dianggap primordial dan mengkotak-kotak kaum cendekiawan, sehingga menjadi sangat kontra-produktif bagi pembangunan dan integrasi nasional. Karena itu, sejak awal Gus Dur menolak bergabung, meskipun namanya telah dicatat sebagai penasehat panitia simposium.[10] Lebih dari itu, Gus Dur khawatir: jangan-jangan Islam hanya dijadikan bamper dan legitimasi politik pemerintah.[11]
Sedangkan bagi kalangan yang mendukung ICMI menganggap bahwa ICMI bisa diartikan sebagai bangkitnya kalangan intelektual Islam, terutama dalam peta sosial politik di Indonesia.[12] Menurut Harjiyanto Y. Tohari, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah ketika itu, apabila ada kalangan yang mengatakan bahwa ICMI merupakan ormas sektarian dan primordial, sebetulnya lebih pada masalah psikologis, emosional dan tidak riil. Gus Dur, misalnya, karena tidak diajak sejak proses awal, dia merasa bukan pemegang inisiatif, tetapi pengikut saja. Jadi, apa yang dikatakan Gus Dur tidaklah begitu prinsipil.[13]
Terlepas dari pro-kontra itu, sejak 16 tahun yang lalu, ICMI telah menjadi bagian dari dinamika ijtihad intelektual umat Islam Indonesia. Masa 16 tahun bukan masa yang singkat bagi sebuah organisasi masyarakat (ormas) seperti ICMI. Seharusnya, dalam kurun itu ICMI telah memberikan banyak hal terhadap masyarakat Indonesia, khususnya dalam konteks politik, walaupun ICMI sendiri bukan organisasi politik. Tetapi, keberadaannya tidak bisa lepas dari jeratan jaring-jaring politik Indonesia dan mau tidak mau, sedikit atau banyak, diakui atau tidak, telah menyeret ICMI ke dalam kubangan perpolitikan nasional. Kiprah ICMI dalam pentas perpolitikan inilah itulah yang akan menjadi fokus kajian penelitian ini.
Jadi, penelitian ini bertujuan untuk menelaah dan mendeskripsikan Kiprah ICMI dalam Perpolitikan Indonesia sejak tahun 1990-2005. Di mana, dalam kurun itu, ICMI telah hidup di tiga masa, yaitu: masa Orde Baru, masa transisi dan masa reformasi. Tentunya, masing-masing orde itu memiliki dinamika perpolitikan sendiri-sendiri. Atas dasar ini, dalam hemat saya, penelitian ini menarik untuk dikaji secara mendalam yang diharapkan mampu menambah wawasan masyarakat tentang kiprah ICMI dalam politik. 

B.    RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang di atas, maka fokus utama penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan: bagaimana kiprah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dalam perpolitikan nasional (1990-2005)? Dari fokus utama itu kemudian diturunkan beberapa sub fokus penelitian, antara lain:
1.      Bagaimana kiprah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dalam perpolitikan nasional pada masa Orde Baru (1990-1998)?
2.      Bagaimana kiprah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dalam perpolitikan nasional pada masa transisi (1998-1999)?
3.      Bagaimana kiprah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dalam Perpolitikan Nasional pasca reformasi (1999-2005)?

C.    TELAAH PUSTAKA

Dari kelahirannya yang cukup unik, ICMI telah mengundang perhatian sejumlah kalangan —termasuk pengamat luar negeri—, untuk mengkaji sebuah organisasi yang menjadi arena perkumpulan “cendekiawan” muslim Indonesia ini. Beberapa karya, baik berbentuk penelitian serius atau tulisan-tulisan lepas, muncul sebagai respon atas keberadaan dan kiprah ICMI di Indonesia. Uraian singkat mengenai literatur-literatur yang mengupas ICMI berikut, tidak lain adalah untuk menghindari plagiat intelektual dan sekaligus menunjukkan letak perbedaan karya-karya tersebut dengan “penelitian” yang berjudul Kiprah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Dalam perpolitikan Nasional (1990-2005) ini.
Robert William Hefner, dalam Islam, State and Civil Society: ICMI and The Struggle for The Indonesia Middle Class yang diterjemahkan menjadi ICMI & perjuangan Menuju Kelas Menengah Indonesia, telah berupaya mengkaji latar belakang munculnya ICMI dan perjalanannya hingga tahun 1993. Hefner menyimpulkan bahwa lahirnya ICMI merupakan orientasi dan perjuangan keagamaan umat Islam kelas menengah dalam aspek politik dan kebudayaan Indonesia modern, yang sekaligus telah merubah peta dan aliansi politik yang dilakukan oleh rezim Orde Baru di awal 1990-an.[14]   
Sementara, buku ICMI, Kekuasaan dan Demokrasi yang ditulis oleh Ahmad Bahar, dkk., mencoba memotret ICMI dalam aspek sosial, ekonomi, politik dan dunia pers. Walaupun demikian, dari keempat aspek tersebut, buku ini sebetulnya lebih cenderung pada uraian tentang eksistensi ICMI dalam dunia politik, masalah kenegaraan, demokrasi dan tentu saja relasi ICMI dengan ketiganya. Para penulis dalam buku ini menyimpulkan bahwa ICMI memiliki peran besar dalam dinamika sosial, pelopor demokrasi, dan salah satu aktor pembangunan dan pejuang kebebasan pers yang ditandai dengan terbitnya Republika. Selain itu, ICMI dianggap sebagai salah satu corak pengejawantahan kebangkitan kembali Islam di Indonesia.[15]
A. Makmur Makka dan Dhurorudin Mashad, dalam ICMI: Dinamika Politik Islam Indonesia, berusaha mengkaji dengan jeli dinamika ICMI, mulai dari proses kelahiran hingga digelarnya Muktamar ICMI yang kedua. Disebutkan bahwa munculnya ICMI sebagai salah satu NGOs di Indonesia telah memicu pro-kontra di antara sejumlah kalangan, baik dari dalam maupun luar negeri. Namun demikian, mereka menyimpulkan bahwa dalam kurun 5 tahun pertama itu, ICMI telah melakukan banyak hal untuk masyarakat Indonesia, khususnya pada pemahaman dan pengamalan semangat kebangsaan.[16]
Melalui buku Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia (Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru), M. Syafi’i Anwar juga meneliti tentang ICMI yang dibahas dalam satu bab tersendiri dengan tema Islam dan Birokrasi Studi Kasus ICMI. Berbeda dengan karya-karya lainnya, Anwar meneropong eksistensi ICMI dalam perspektif politik. Dia berusaha memetakan perubahan-perubahan sosial-politik yang berkembang di Indonesia, berikut dampaknya terhadap masa depan ICMI.[17]
Di antara buku-buku tersebut dapat dikatakan bahwa sejauh ini masih belum ada pembahasan khusus tentang kiprah ICMI dalam perpolitikan Indonesia sejak tahun 1990-2005. Walupun M. Syafi’i Anwar telah meneliti ICMI dalam perspektif politik, tetapi penelitan Anwar itu dilakukan pada saat konsisi sosial-politik Indonesia masih diwarnai kekuasaan rezim Orde Baru melalui tangan besinya Soeharto. Padahal, dalam kurun 15 tahun terakhir, bangsa Indonesia telah memiliki 5 presiden, yaitu: “eyang” Soehato, B.J. Habibi, Megawati Soekarno Putri, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pergantian kursi kepresidenan tersebut pasti melahirkan corak dan konstalasi tersendiri di kancah perpolitikan nasional, yang sudah barang sangat berpengaruh terhadap kiprah dan gerakan ICMI di belantara politik Indonesia.  
 

D.    METODE PENELITIAN

Sifat Penelitian adalah deskriptif analitis berdasarkan analisa teks atau lazim disebut library research. Dalam penelitian ini tidak ada data primer dan data sekunder. Ini berbeda dengan studi tokoh yang biasanya menggunakan data primer dan sekunder. Dalam kajian tokoh, data primer adalah karya-karya dari tokoh yang bersangkutan, sementara data sekunder adalah karya-karya yang berasal dari kajian orang lain tentang tokoh yang diteliti. Sementara, eksistensi ICMI dalam penelitian ini bukan manusia yang tidak mungkin bisa menciptakan karya. Yang menciptakan karya ialah orang-orang ICMI dan/atau para pengamat tentang ICMI. Selain berasal dari karya-karya dua kelompok itu, sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari dokumen-dokumen internal ICMI yang berupa: AD/ART, hasil muktamar, panduan organisasi, dan lain-lain.[18] Dua sumber data ini tentu ditambah dengan karya-karya lain yang relevan dengan judul yang diangkat
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah membaca literatur-literatur tentang ICMI secara seksama, yang dilanjutkan dengan klasifikasi data sesuai dengan topik-topik penelitian yang diangkat. Kemudian, dilanjutkan dengan seleksi data, yakni mana data yang sesuai dengan penelitian dan mana yang tidak. Baru setelah itu, dilakukan sistematisasi dan analisa data.
Teknik analisa data dalam penelitian ini menggunakan content analysis (analisis isi) dan fenomenologis. Content analysis ini dimaksudkan untuk memahami pemikiran dan kiprah ICMI dalam perpolitikan Indonesia yang tertuang dalam literatur-literatur itu, sehingga peneliti dapat memahami kiprah perpolitikan ICMI di Indonesia sesuai dengan konteksnya. Sementara pendekatan fenomenologis dimaksudkan agar peneliti mampu menangkap inner motive dibalik kejadian-kejadian di sepanjang dinamika ICMI dari tahun 1990-2005   

E.  PEMBAHASAN

KIPRAH IKATAN CENDEKIAWAN MUSLIM INDONESIA (ICMI) DALAM PERPOLITIKAN NASIONAL (1990-2005)    

1.       Sejarah Lahirnya ICMI[19]
Di samping nama-nama besar intelektual muslim sekaliber Nurcholis Madjid, Dawam Rahardjo, Imaduddin Abdulrachim, dan lain-lain, proses terbentuknya ICMI tidak lepas dari lima mahasiswa dari Universitas Brawijaya Malang angkatan 1987, yaitu: Erik Salman, Ali Mudakir, Mohammad Zaenuri, Awang Surya dan Mohammad Iqbal.
Kelima mahasiswa itu adalah mahasiswa yang secara inten melakukan diskusi-diskusi di Masjid Kampus Unibraw. Mereka merasa prihatin dengan kondisi umat Indonesia, khususnya dengan berserakannya cendekiawannya, yang berjuang kelompoknya sendiri-sendiri, sehingga menimbulkan polarisasi kepemimpinan di kalangan umat Islam. Setalah melalui diskusi panjang di antara lima mahasiswa itu, kemudian muncul gagasan untuk menyatukan para cendekiawan muslim dengan cara mempertemukan mereka dalam sebuah simposium nasional.
Gagasan itu lantas dikonsultasikan dengan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dra. A. Malik Fadjar, M.Sc dan Rektor Universitas Brawijaya Malang, Drs. ZA Ahmady, M.PA. Kedua rektor itu ternyata menyambut hangat gagasan cemerlang dari generasi brilian umat Islam. Namun, keraguan dari dua rektor tersebut muncul ketika masuk pada masalah pembiayaan. Sebab, jika pembiayaan tidak jelas, maka bisa jadi malah “biayaan”. Untuk itu, rektor Unibraw meminta mereka agar menyusun proposal untuk acara simposium itu. Tetapi, setelah proposal, diketahui bahwa dana yang dibutuhkan sangat besar. Karena itu, rektor menghendaki agar acara itu ditunda dulu. Kondisi ini tidak lantas mempersurut keinginan pandawa lima itu.
Mereka terus bergerak, dengan merogoh koceknya sendiri, ke Yogyakarta, Jakarta dan Bogor untuk menemui sejumlah intelektual muslim yang diharapkan bisa dijadikan pembicara, diantaranya Dawam Rahardjo dan Imaduddin Abdulrahim. Dari sini kemudian memunculkan gagasan lebih besar lagi, yakni tidak hanya menyelenggarakan simposium, tetapi sekaligus membentuk sebuah wadah untuk cendekiawan muslim Indonesia. Dari hasil diskusi mereka, muncul pemikiran untuk mempertemukan mahasiswa tersebut dengan Menristek B.J. Habibie.
Atas prakarsa mantan Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara, pada hari Jum’at tanggal 3 Agustus 1990, selesai “Jum’at-an” mereka (ditemani Imaduddin, Dawam Rahardjo, dan Syafii Anwar) berhasil bertemu Habibie. Mahasiswa langsung menyampaikan gagasannya tentang rencana mengadakan simposium dan meminta kesediaan Habibie untuk memberikan makalah utama pada simposium itu sekaligus menjadi pemimpin organisasi cendekiawan berskala nasional yang akan dibentuk.
Habibie merespon positif gagasan mahasiswa, hanya saja dia tidak bisa memastikan “iya atau tidak”. Habibie lalu mengatakan bahwa: “saya ini pembantu presiden, katanya. Jadi, saya harus meminta izin beliau untuk bekerja sama dengan kalian”. Selain itu, Habibie meminta petisi dari dukungan untuk diedarkan kepada sejumlah cendekiawan muslim Indonesia untuk mengesankan kepada presiden bahwa keinginan mereka untuk menjadikan Habibie sebagai pimpinan organisasi yang di kemudian hari bernama ICMI, benar-benar didukung oleh masyarakat muslim secara luas. Nah, setelah bergerilnya selama beberapa hari, akhirnya sebanyak 49 cendekiawan membubuhkan tandatangan sebagai bukti bahwa mereka memberi dukungan penuh atas gagasan mahasiswa. Dari 49 orang itu, 2 diantaranya bergelar profesor, dan 45 doktor.     
Pada tanggal 27 September 1990, dalam satu pertemuan di rumahnya, Habibie memberitahukan bahwa usulan menjadi pimpinan wadah cendekiawan muslim disetujui oleh Presiden Soeharto. Dari pertemuan itu, Habibie mengusulkan agar wadah cendekiawan muslim yang akan didirikan diberi nama Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Se-Indonesia, disingkat ICMI.
Kemudian, besok harinya, dibentuklah panitia yang tidak hanya melibatkan mahasiswa, tetapi juga dosen-dosen Unibraw yang beragama Islam. Untuk kepanitiaan ini, Habibie meminta agar beberapa staf BPPT dimasukkan menjadi panitia pengarah simposium dan kongres I ICMI. Terang saja, keinginan Habibie langsung diamini oleh semua unsur yang terlibat dalam kepanitiaan. Di antara staf-staf itu ada nama: Wardiman Djoyonegoro, yang kemudian menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; Marwah Daud Ibrahim yang kini menjadi Ketua Umum Presidium ICMI periode 2005-2010.
Dari pertemuan tanggal 28 September itu, disepakati bahwa simpiosium dan Kongres I ICMI akan dilangsungkan pada tanggal 6-8 Desember 1990 di Malang Jawa timur. Grand tema yang diangkat adalah “Sumbangsih Cendekiawan Muslim di Era Tinggal Landas”. Tetapi atas saran Habibie, tema itu diganti menjadi “Cendekiawan Muslim: Membangun Masyarakat Abad XXI.”
Tibalah saatnya pada hari H perhelatan akbar yang ditunggu-tunggu oleh khalayak umum. Dan yang paling mengejutkan, sebagaimana disebutkan di awal, adalah kehadiran BIG BOSS Soeharto untuk membuka agenda umat Islam yang nota bene selama ini dipinggirkan, tentu dengan sejumlah menteri sebagai pengiring setia setiap Sang Presiden memiliki acara, diantaranya: Menristek B.J. Habibie, Menteri KLH Emil Salim, Menteri Agama Munawir Syadzali, Menteri Perhubungan Azwar Anas, Mendikbud Fuad Hasan, dan Pangab Try Sutrisno. Pembukaan acara yang menelan sekitar 200 juta-an itu juga dihadiri oleh sedikitnya 500 cendekiawan seluruh Indonesia dan disiarkan secara LIVE di televisi. Maka berdirilah dengan resmi sebuah wadah cendekiawan muslim dengan nama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang hingga saat ini alhamdulillah belum bubar.     
      
1. Kiprah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Dalam Perpolitikan Nasional Pada Masa Orde Baru (1990-1998)
Dari uraian sejarah proses kelahiran ICMI di atas, ada sejumlah hal penting (untuk tidak mengatakan “janggal”) yang patut dicermati. Pertama, penunjukan B.J. Habibie sebagai Ketua Umum ICMI. Umumnya, dalam sebuah organisasi, ketua umum dipilih dalam perhelatan kongres, muktamar, dll, walaupun organisasi itu baru didirikan. Fenomena Habibie di sini jelas di luar “adat” organisasi pada umumnya. Sehingga pantas untuk dicurigai dan diselidiki motif apa dibalik fenomena itu.
Fenomena Habibie itu tidak lepas dari permainan politik kelas elit. Para aktor intelektual di balik lahirnya ICMI mencoba menjadikan gagasan lima mahasiswa Unibraw Malang itu sebagai media “komunikasi” antara kalangan umat Islam dengan penguasa yang selama ini tidak pernah harmonis. Harapannya adalah terbukanya akses kekuasaan terhadap Orde Baru yang bisa digunakan untuk memberdayakan masyarakat, wabil khusush umat Islam.
Dengan demikian, sejak awal ICMI sudah masuk dan bermain dalam dunia politik. Jadi tidak berlebihan apabila pakar dan pengamat politik dari Universitas Gajah Mada (UGM), Afan Gaffar, menyatakan bahwa tidak mungkin ICMI a-politik. “Menurut hemat saya, kata Gaffar, ICMI juga berpolitik, hanya artikulasinya yang berbeda dengan ormas lain”.[20]  
Pilihan cendekiawan untuk masuk pada arena politk adalah pilihan yang kurang pas. Sebagai kekuatan sosial, apalagi di dalam ICMI terhimpun para cendekiawan, seharusnya ICMI tidak melibatkan tokoh-tokoh yang bergelut dalam dunia politik praktis, atau meminjam bahasa Julien Benda “bukan orang-orang yang mengejar tujuan-tujuan praktis.[21] Padahal, Habibie jelas-jelas “anak pingitan” Soeharto yang mesti menuruti apa yang menjadi kehendak “sang Romo”. Apalagi, menurut Deliar Noor, “Habibie tidak pernah menunjukkan komitmennya terhadap Islam.”[22] Dengan demikian, Habibie telah dan akan menjadi pion politik Soeharto dalam permainan catur politik rezim Orde Baru.
Dalam posisi ini, ICMI dihadapkan pada dua pilihan: “memanfaatkan pemerintah dan/atau dimanfaatkan pemerintah” yang sedang membutuh-kan legitimasi dari untuk Islam untuk mengamankan status quo-nya  Jika tidak bisa memanfaatkan pemerintah, minimal ada take and give antara pemerintah. Maksudnya, ICMI akan mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah dengan catatan pemerintah juga memberikan apa yang dibutuhkan oleh ICMI, yang katanya untuk kepentingan masyarakat umum. Dari pola demikian akan tercipta relasi simbiosis-mutualisme antara Orde Baru dengan ICMI. Untuk melihat mana yang dominan, ICMI atau Orde Baru, bisa dianalisa point kedua berikut.
Kedua, Habibie meminta petisi dukungan dari para cendikiawan. Alasan Habibie adalah sebagai bukti bahwa permintaan untuk menjadikan dirinya sebagai Ketua Umum ICMI didukung oleh umat Islam yang direpresentasikan melalui para intelektualnya. Habibie sebetulnya hanya men-test case (mengukur) sejauh mana dukungan cendekiawan tur umat Islam pada umumnya atas rencana pengangkatan dirinya menjadi Ketua Umum ICMI.
Ternyata cendekiawan yang mendukung Habibie cukup banyak, 49 orang. Jumlah ini lebih dari cukup untuk merepresentasikan dukungan umat muslim atas dirinya. Jumlah dukungan itu sekaligus mengindikasikan bahwa kekuatan intelektual Islam sangat luar biasa. Maka sangat disayangkan jika Orde Baru tidak memfungsikan atau memanfaatkan mereka dalam pembangunan nasional dan upaya melanggengkan kekuasaan rezimnya. Atas dasar itu dan tentu atas restu Soeharto, Habibie menyatakan bahwa dirinya bersedia menjadi Ketua Umum ICMI. Ini yang mendasari Adam Schwarz, sebagaimana di ikuti oleh Makka dan Mashad, untuk menyatakan bahwa “ICMI sebenarnya tidak lebih dari basis dukungan baru dan berharga bagi Habibie dalam rangka mengembangkan pandangan-pandangan ekonomi dan ambisi politiknya.”[23]
Kenyataan akan berbeda seandainya dukungan kepada Habibie ternyata sedikit. Kemungkinan besar Habibie akan menolak permintaan itu. Pertimba-ngannya: (1) cendekiawan muslim masih cerai berai, sehingga tidak begitu signifikan untuk dijadikan mitra kerja dalam suksesi pembangunan dan politik Orde Baru. Dalam kondisi ini, umat Islam bukanlah ancaman terhadap kekuatan rezim status quo. jadi, tidak perlu diperhitungkan, apalagi dirisaukan; dan (2) hal itu berarti bahwa dukungan para cendekiawan terhadap Habibie tidak total. Di dalam kamus politik, parsialitas dukungan tidak akan pernah melahirkan gerakan dan manuver-manuver politik yang kuat. Sebab, secara internal akan selalu muncul tarik-menarik antara kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan berbeda-beda.
Dengan dukungan 49 cendekiawan muslim itu, secara kalkulasi politik, Habibie akan lebih dominan memainkan perannya dalam ICMI. Hal ini dapat dilihat di arena Muktamar I ICMI tanggal 6-8 Desember 1990 di Malang. Ketika itu, tidak ada satupun dari peserta kongres yang menolak Habibie untuk dikukuhkan sebagai Ketua Umum ICMI. Mereka mufakat-bulat mentahbiskan B.J. Habibie sebagai Ketua Umum sekaligus sebagai formatur tunggal  yang bertugas menyusun struktur kepengurusan ICMI.[24] Ini bukti bahwa dukungan cendekiawan muslim terhadap Habibie benar-benar total. Jadi, sekali lagi, permintaan petisi dari Habibie adalah untuk mengukur sejauh mana kekuatan dan totalitas cendekiawan muslim atas dirinya.        
Ketiga, hadirnya Soeharto sebagai pembuka acara simposium nasional dan Muktamar I ICMI. Sebagaimana disebutkan di muka, ini sungguh dan benar-benar fenomena baru dalam “drama perpolitikan Orde Baru”. Sebelumnya Soeharto, yang dianggap Islam-abangan oleh pengamat luar negeri, sangat anti Islam-santri. Cukup rasional apabila Michael Vatikiotis menganggap bahwa “ICMI merupakan tiket (baca: cek kosong) yang diberikan pemerintah kepada umat Islam untuk tampil kembali dalam gelanggang politik Indonesia.”[25] 
Seakan-akan mengamini pandangan Vatikiotis di atas, William Liddle dari Ohio State University, sebagaimana dikutip oleh Ade Armando, merasa tidak percaya kalau orang Islam abangan yang mayoritas di Jawa bisa di-santri-kan…. Liddle menganggap bahwa arti penting dari ICMI adalah sentralisasinya dalam rencana strategis Soeharto untuk mempertahankan kendalinya dalam sistem politik Indonesia khususnya pada pemilu 1997. Jadi, “terbentuknya ICMI pertama-tama tidak lain adalah kebutuhan politik Presiden (Soeharto),” tambah Liddle.[26]       
Pandangan dua pengamat asing itu berpijak pada fenomena pembukaan simposium dan Muktamar ICMI I. Di mana Soeharto dengan mengenakan pakaian ala santri dan dengan bacaan bismillahirrahmanirrahim dia menabuh Bedug sebagai tanda dibukanya simposium dan Muktamar ICMI I. Pakaian ala santri dan bedug merupakan trade mark dari “Islam santri”. Jadi, sejak saat itu, Soeharto mulai memasuki “alam pikiran dan alam dunia” Islam santri. Tujuannya, tidak lain adalah menjadikan Islam sebagai amunisi baru untuk melanggengkan posisinya sebagai “Presiden Seumur Hidup”.    
Upaya Soeharto untuk memasuki dunia Islam santri semakin kentara ketika dia melakukan ibadah haji—dalam konteks ini, saya masih husnu al-dzan terhadap Soeharto, makanya saya tidak akan mengatakan bahwa dia “tidak melakukan ibadah haji, tetapi rerkreasi” sebagaimana dituduhkan kebanyakan orang selama ini—pada tahun 1991. Robert William Hefner, dalam catatan kakinya, menyatakan bahwa “tak biasanya bagi seorang muslim, kecuali kampungan (cetak tebal dari penulis), yang telah menyelesaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah menggunakan nama baru atau tambahan sebagai simbol dan identitas pribadi. Presiden Soeharto menambahkan namanya dengan Muhammad Soeharto setelah melakukan ibadah haji”.[27] Bahkan M. Syafii Anwar dalam salah satu halaman bukunya menulis dengan lebih lengkap: Haji Muhammad Soeharto”.[28]
Itulah gambaran bahwa sejak awal ICMI memang sudah masuk pada dunia politik. Dengan masuk dan berhubungan dengan politik penguasa, kata Jalaluddin Rahmat, paling tidak para cendekiawan muslim bisa membantu umat Islam dengan bantuan pemerintah.[29] Dan menurut Emha Ainun Najib, salah satu pengurus ICMI periode pertama, walaupun akhirnya mengundurkan diri, memberla wong cilik, penindasan dan ketidakadilan juga memerlukan solidaritas politik.[30]
Sebetulnya pandangan Cak Nun ini perlu diluruskan. Adalah benar bahwa, meminjam istilah Ali Syariati, pembelaan kaum mustadl’afin (orang-orang yang (ter)ditindas) memerlukan support politik. Tetapi, persoalannya adalah bagaimana jika yang pelaku penindasan dan ketidakadilan terhadap wong cilik itu adalah penguasa yang dijadikan mitra? Apakah cita-cita pemberdayaan itu bisa terwujud? Saya kira tidak mungkin, atau minimal sulit buuuaaanget. Pemerintah tidak akan melakukan pemberdayaan apalagi menegakkan keadilan yang jelas-jelas membeber kesalahannya. Sebab, aktor ketidakadilan itu adalah pemerintah sendiri. Jelas tidak mungkin man…!!!???
Dalam konteks ini, kasus yang bisa diketengahkan adalah ketika ICMI coba-coba ambil peranan dalam kasus “Kedung Ombo”. Meskipun akhirnya tersandung karena tidak seirama dengan kebijakan pemerintah.[31] Atas kasus ini, Cak Nun memilih mundur dari ICMI. Alasannya, karena Habibie telah ingkar janji terhadap dirinya. Kata Cak Nun, “Habibie pernah berjanji untuk menegakkan keadilan atas kasus ‘Kedung Ombo’. Meskipun akhirnya ‘harus mengalah pada kepentingan yang lebih besar’. Karena saya malu pada rakyat yang bersangkutan, saya memutuskan untuk mundur dari ICMI untuk mengongkosi dan memper-tanggungjawabkan rasa malu itu.”[32]  
Kasus yang diceritakan oleh Cak Nun di atas adalah salah satu bukti bahwa rezim otoriter yang terlalu banyak memiliki dosa kepada rakyat tidak akan pernah berpihak pada rakyat. Dalam posisi ini sebetulnya Habibie dalam posisi serba sulit. Di satu sisi, dia harus mendukung ICMI untuk membela masyarakat, tetapi di sisi lain, dia tidak bisa kabur dari “ketiak” Soeharto. Dan untuk menyematkan masa depan karir politiknya, dia harus memilih sang penguasa. Dengan konsekuensi mengecewakan konstituen yang memilihnya, dalam hal ini ICMI, dan pasti juga masyarakat umum. Frasa “harus mengalah pada kepentingan yang lebih besar” di atas, dalam hemat saya, bermakna bahwa mau tidak mau Habibie harus mematuhi kebijakan Soeharto untuk mempertahankan rezim ORBA, sekaligus menjaga masa depan politiknya sendiri.
Kemudian dari sisi filosofis, keterlibatan ICMI dalam perpolitikan Orde Baru sangat tampak pada Anggaran Dasar ICMI, khususnya: (1) Bab II Pasal 4 tertulis bahwa: “ICMI berasaskan Pancasila”; (2) Bab III Pasal 5: “ICMI bertujuan meningkatkan mutu kecendekiawanan dan peran serta cendekiawan muslim se-Indonesia dalam pembangunan nasional, sebagai pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 guna mewujudkan tata kehidupan manusia yang damai, adil sejahtera lahir batin yang di ridloi Allah subhanahu wa ta’ala; dan (3) Bab IV Padal 6 tentang sifat dan corak organisasi, disebutkan: “ICMI adalah organisasi kebudayaan yang bersifat keilmuan dan kecendekiawanan, bercorak terbuka, bebas dan mandiri”. [33]
Dari tiga pasal itu sangat kentara bahwa ICMI sangat ORBA-sentris. Pertama, ICMI menjadikan Pancasila sebagai asas organisasinya. Padahal, di masa-masa awal pemerintah Orde Baru mengumumkan bahwa Pancasila adalah asas tunggal, sejumlah tokoh Muhammadiyah yang mayoritas menjadi aktor utama lahirnya ICMI menolak Pancasila (unsur NU dalam tubuh ICMI memang sedikit, karena Abdurrahman Wahid menolak bergabung dengan ICMI. Dan NU sendiri menerima Pancasila lebih awal daripada Muhammadiyah). Ini membuktikan bahwa di hadapan pemerintah, ICMI tidak berdaya. Namun demikian, hal itu sangat wajar, sebab semua warga negara mau tidak mau harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Namun demikian sungguh mengherankan. Yakni ada sesuatu yang “tidak wajar” ketika melihat Anggaran Dasar ICMI hasil Muktamar III ICMI pada bulan Nopember 2000 di Jakarta dan Muktamar IV di Makassar bulan Desember 2005 lalu. Di kedua Angaran Dasar ini tertulis bahwa: “ICMI berasaskan Islam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.” Padahal dalam Anggaran Dasar hasil Muktamar II pada bulan Desember 1995,[34] asas ICMI ini masih sama persis dengan Anggaran Dasar hasil Muktamar I di Malang pada bulan Desember 1990.  Inilah ideologi ICMI sebenarnya. “Sampai kapanpun” dia tidak bisa lepas dari label revivalis atau puritan, yang selalu mengusung nama Islam ke mana-mana.
Kedua, tujuan ICMI. Pencantuman kata “pembangunan nasional” sebagai tujuan ICMI merupakan fakta yang tidak bisa ditolak, sebagaimana dikemukakan sejumlah pengamat, bahwa ICMI lahir tidak lebih dari kendaraan politik Orde Baru. Pembangunanisme merupakan ideologi yang dipaksakan oleh Orde Baru untuk diimplementasikan di Indonesia. Pembangunanisme adalah sebuah ideologi yang diadopsi dari Barat sebagai bagian dari konspirasi kapitalisme dan globalisasi, yang lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya..
Pada Muktamar II di Jakarta, pasal itu tetap dipertahankan. Kemudian, keheranan itu muncul kembali, sebagaimana ketika melihat perubahan pada pasal 4 di atas, manakala melihat perubahan pada pasal 5 Anggaran Dasar ICMI hasil Muktamar III dan IV. Tujuan ICMI berganti menjadi: “ICMI bertujuan mewujudkan tata kehidupan masyarakat madani yang damai, adil sejahtera lahir batin, yang diridloi oleh Allah subhanahu wata’ala dengan meningkatkan mutu keimanan-ketakwaan, kecendekiawanan dan peran serta cendekiawan muslim se-Indonesia. Penggantian kata “pembangunan nasional” menjadi “masyarakat madani” semakin meyakinkan saya bahwa ICMI memiliki ideologi puritan (Lebih jelas akan dibahas pada bagian kiprah ICMI dalam perpolitikan Indonesia pasca reformasi).    
Ketiga, sifat organisasi. Pada pasal 6 itu, tertulis bahwa asas ICMI adalah kebudayaan. Mengapa ICMI tidak menggunakan kata (minimal) keagamaan? Ini adalah masalah besar yang perlu “diusut” dengan tuntas. Dalam hemat saya ICMI tidak berani menggunakan “keagamaan” dalam sifat organisasinya karena ICMI segan (untuk tidak bilang takut) pada pemerintah Orde Baru. Padahal dalam tubuh ICMI hanya ada satu agama, Islam. Tidak ada agama lain. Memang pada Anggaran Dasar periode selanjutnya, sifat itu mengalami sejumlah perubahan dengan berbagai variasinya. Sekali lagi, ICMI hanya menjadi kepanjangan tangan penguasa era ORBA. 
Terlepas dari analisis di atas, ICMI juga menghasilkan beberapa prestasi dalam pemberdayaan masyarakat, antara lain: pendirian Bank Mu’amalat Indonesia (BMI), Manajemen Musyarakah, Yayasan Abdi Bangsa, Republika, Islamic Center dan lain sebagainya.[35] Salah satu teman yang pernah Studi di Kairo (Mesir ) dan Sudan, Ahmad Furqon, menyatakan bahwa ICMI juga berjasa besar dalam pemberian beasiswa. Bahkan, di Kairo, pemerintah memiliki apartemen lantai tiga yang khusus dipergunakan untuk mahasiswa Indonesia. Apartemen itu merupakan prakarya ICMI.
Beberapa contoh prestasi ICMI di atas merupakan bagaining position antara ICMI dengan penguasa. Namun demikian, cost politic  yang harus dikeluarkan ICMI juga tidak kalah banyaknya. Yang paling parah adalah, secara tidak langsug ICMI juga menjadi alat legitimasi kekuasaan pemerintah. Artinya, ICMI juga terlibat dalam penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan rezim Orde Baru. Ini jelas bertolak belakang dengan pandangan Islam bahwa “menghindari mafsadat lebih baik daripada membuat maslahat”.     
Dari kacamata organisasi, pola yang dibangun ICMI pada masa Orde baru juga tidak benar. Sebagai kelompok strategis, meminjam istilah Hans Dieter Evers, ICMI seharusnya senantiasa melakukan pembaruan kondisi sosial ekonomi dan politik ke arah yang lebih baik, dan mencegah setiap kecenderungan yang tidak menguntungkan perkembangan masyarakat dan negara.[36] Sementara ICMI berupaya melakukan perbaikan masyarakat, tetapi pada saat yang sama dia seolah-olah membiarkan ketidakadilan menimpa rakyat banyak. Ini karena ICMI tidak mampu berbuat banyak di hadapan Orde Baru, dan untuk melepaskan diri dari cengkramannya sudah terlambat. Sebab, pemberian Orde Baru pada ICMI sudah sangat banyak..  

2. Kiprah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Dalam Perpolitikan Nasional Pada Masa Transisi (1998-1998)
Huru-hara Mei 1998 merupakan peristiwa bersejarah yang membawa telah Indonesia pada babak baru perjalanan bangsa. Peristiwa itu tidak bisa dipisahkan dari rangkaian krisis moneter yang telah berlangsung sejak Juli 1997 dimulai dari Thailand dan menyebar ke beberapa negara lain termasuk Indonesia dan Korea Selatan. Krisis moneter yang salah penanganan dan diagnosis dari pemerintah atas lembaga moneter internasional, International Monetary Fund (IMF) berkembang menjadi krisis politik. Hanya dalam waktu dua bulan setelah disumpah menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya, pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB Presiden Soeharto akhirnya resmi mengundurkan diri dari jabatannya. Dan secara otomatis B.J.Habibie resmi menjadi gantinya.[37] Inilah babak baru dalam perpolitikan nasional.
Secara pribadi, saya menyebut masa ini, sebagai masa transisi. Transisi dari Orde Baru menuju Orde Reformasi. Ibarat jembatan zaman, masa transisi menjadi penghubung dari dua zaman yang “berbeda”, dari zaman otoritarianisme menuju zaman demokratisasi seperti yang diharapkan banyak orang. Saya tidak mengkategorikan ini dengan era reformasi, sekurang-kurangnya karena dua alasan:
Pertama, karena Habibie sendiri sebagai pengganti Soeharto tidak lain adalah anak emas rezim Orde Baru. Dalam tubuh Habibie masih tersimpan kuat “gen politik” Orde Baru yang sulit untuk dipisahkan. Peralihan kekuasaan dari Soeharto hanyalah regenerasi politik di internal Orde Baru, dari generasi tua ke generasi muda.
Kedua, kepemimpinan Habibie adalah kepemimpinan antara dan dan sementara. Dikatakan kepemimpinan antara karena Habibie menjadi pemimpin di zaman peralihan, dari ORBA ke reformasi. Sedangkan kepemimpinan sementara, karena pada faktanya kepemimpinan Habibie adalah semata-mata untuk mempersiapkan dan melaksanakan Pemilu secepat mungkin. 
Lantas apa kaitannya dengan kirpah ICMI dalam perpolitikan nasionalnya? Kaitannya sangat jelas: ICMI berada dalam posisi serba sulit. Satu sisi, ICMI harus mem-beck up Habibie sebagai punggawa ICMI, tetapi di sisi lain, ICMI tidak bias menutup mata dengan keinginan sejumlah kalangan dan masyarakat agar terjadi perubahan di pucuk kekuasaan nasional. Hal ini sebenarnya juga di sadari ICMI. Sebab, apabila ICMI membela Habibie, maka dia akan berhadapan dengan arus besar masyarakat yang menolak status quo berikut antek-anteknya.
Apa mau dikata, pilihan ICMI tampaknya tetap lebih condong pada pembelaan terhadap Habibie. Bagaimanapun jasa Habibie terhadap dinamika ICMI sangatlah besar. Menurut Anwar Hudijono, ICMI tak mau meninggalkan Habibie sendirian. Apalagi banyak kepentingan ICMI yang dipertaruhkan bersama nasib Habibie. Misalnya, banyak menteri yang dari ICMI seperti Muladi, Muslimin Nasution, Malik Fadjar, Juwono Sudarsono, Akbar Tandjung, Ali Alatas, Adi Sasono.[38] Dan meninggalkan Habibie ketika berada di puncak kekuasaan adalah “bodoh besar”. Sebab, situasi tersebut adalah peluang emas bagi ICMI dan kelompok-kelompok se-aliran, untuk mengakses kekuatan politik dan bisa melakukan sesuatu secara lebih bebas.
Dalam bahasa A.S. Hikam  “jatuhnya Soeharto dan naiknya Habibie merupakan kesempatan bagi gerakan Islam alternatif[39] (seperti: ICMI, KISDI, HMI, PII, KAMMI, dan lain-lain) untuk lebih memicu kiprah mereka dalam merebut posisi unggul dalam percaturan politik era pasca Soeharto.”[40] Untuk itu, tambah Hikam, dalam percaturan politik riil, menguasai elit politik dalam pemerintahan Habibie merupakan terobosan (breakthrough) yang sangat krusial. Karena, dengan strategi ini konstelasi politik pada tingkat pembuat kebijakan (policy makers) yang berskala nasional akan dapat dipengaruhi dan bahkan di kontrol. Habibi sendiri, kendati barangkali tidak memiliki visi politik seperti itu, tidak bisa berbuat banyak karena pada hakikatnya ia sangat tergantung kepada basis dukungan kelompok Islam alternatif tersebut. Karenanya, selama Habibie masih belum menemukan aliansi baru yang dapat menopang posisinya, maka kekuatan gerakan Islam alternatif masih tetap dominan.[41]  
Terlepas dari konstelasi politik nasional yang sedang mencari jati diri, karena masing-masing kelompok sedang menyusun kekuatannya masing-masing khususnya untuk menghadapi pemilu yang akan segara digelar, ICMI mengeruk keuntungan cukup besar dengan keberadaan Habibie di pucuk kekuasaan. Salah satu wakil ketua ICMI Orwil Jawa Tengah 2006-2011, dengan inisial BEP, yang sejak awal mengikuti dinamika ICMI, menyatakan bahwa “ketika Habibie berkuasa, ICMI menjadi dinamis dan kegiatan-kegiatan berjalan lancar. Hal ini tidak lepas dari akses kekuasaan dan support dana dari sang penguasa.
Apa yang diberikan penguasa kepada ICMI bukan hadiah yang diberikan dengan cuma-cuma. Kompensasinya yang harus diberikan ICMI adalah dukungan politik terhadap pemerintah, khususnya Habibie. Apalagi Habibie duduk di kursi kekuasaan dengan sejuta masalah yang diwariskan Orde Baru, di mana dia juga bagian di dalamnya.
Keinginan Habibie tampaknya sulit terpenuhi. Sebab, jatuhnya Soeharto telah menciptakan peta baru dalam perpolitikan nasional. Kini, ICMI dan barisan pendukung Habibie lainnya tidak bisa berbuat banyak dalam arena politik. Ada beberapa alasan bisa dikemukakan di sini:
Pertama, melemahnya kekuatan militer. Di era Orde Baru militer merupakan kekuatan utama gerakan politik Soeharto. Tetapi, menjelang reformasi, perpecahan di tubuh militer tidak bisa dibendung. Ini tidak lepas dari rivalitas antara Praboro Tri Subiyanto dan Wiranto. Dua sosok yang sama-sama sangat dekat dengan Soeharto. Prabowo, putra bengawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo, tidak lain adalah menantu Soeharto. Ia adalah suami Sri Hediyati Hariyadi (Titiek). Sedangkan Wiranto dekat dengan Soeharto, karena dia pernah menjadi ajudan presiden selama empat tahun, 1989-1993.
Keduanya memiliki kekuatan yang cukup berimbang, walaupun posisi Wiranto lebih tinggi dari Prabowo. Sejak 28 Maret 1998, Prabowo menjadi Pangkostrad. Sementara Wiranto menjabat sebagai Panglima ABRI. Walaupun demikian, posisi Prabowo lebih dominan daripada Wiranto. Sebab, jabatan-jabatan strategis berada di tangan kawan-kawan dekat Prabowo mulai dari KSAD, Danjen Kopassus, Pangdam Jaya, Dankorps Marinir dan lain-lain. Jauh sebelum Habibie menjadi presiden, dia berkali-kali bilang: “Prabowo, jika saya Presiden, anda akan jadi Panglima ABRI.” Tetapi sayang, atas trik dan manuver Wiranto, Prabowo gagal menjadi Pangab. Pos itu tetap diisi Wiranto. Hal ini jelas tidak menguntungkan bagi Habibie. Sebab, secara tidak langsung dia semakin memperkeras rivalitas di tubuh ABRI,[42] sekaligus mengurangi basis dukungan sebagian besar ABRI kepada dirinya. 
Kedua, menguatnya semangat kebebasan dan iklim demokrasi pasca tumbangnya Soeharto. Kondisi ini memungkinkan kepada semua kalangan untuk mengkonsolidasikan kembali kekuatannya yang selama rezim Orde Baru tercerai berai dan tidak bisa berbuat apa-apa, serta memberi peluang yang sebesar-besarnya kepada kekuatan individu untuk merapat kepada kelompok tertentu. Apalagi dengan ditetapkannya sistem multi partai pada pemilu 1999 yang melahirkan 141 partai politik, walaupun yang lolos verifikasi hanya 48 partai. Jadi, sebagian besar elit politik sibuk dengan diri dan kelompoknya masing-masing. Tak terkecuali orang-orang yang selama ini berlindung di balik ICMI.
Bahkan di internal ICMI pun tidak utuh lagi. Menurut Anwar Hudijono, ini diawali pada tahun 1997, di mana Amien Rais mengundurkan diri dari posisi Ketua Dewan Pakar ICMI setelah dia tidak mau menarik kritiknya soal Busang, Freeport, KKN Soeharto, dan suksesi.”[43]
Mundurnya Amin Rais dari Ketua Dewan Pakar ICMI tentu sangat mengurangi dukungan ICMI terhadap politik pemerintah. Mundurnya Amin Rais, sedikit banyak, juga diikuiti oleh orang-orang yang se-visi dengannya. Ini yang membuat dukungan politik ICMI terhadap Habibie tidak total. Puncaknya pada Sidang Umum MPR 1999 di mana MPR menolak laporan pertanggungjawaban Habibie, yang sekaligus memupuskan dirinya untuk ikut pencalonan pada pemilu yang segera dilangsungkan.
Dari paparan di atas menunjukkan bahwa kiprah ICMI dalam perpolitikan nasional pada masa transisi tidaklah begitu signifikan. Selain karena durasi waktunya yang sangat singkat, ICMI juga menghadapi sejumlah kendala internal dan eksternal sebagai konsekuensi dari perubahan konstalasi perpolitikan nasional pasca mundurnya Soeharto. Apa yang dilakukan ICMI pasa masa transisi adalah bagaimana mem-back up Habibie. Sehingga tidak jarang orang yang menyindir, seharusnya ICMI menjadi partai politik saja bersama masa eforia kelahiran partai politik..
Akhirnya, ketika Habibie gagal mempertahankan kekuasaannya, ICMI seakan-akan kehilangan jati dirinya. Dia tidak tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi sejak awal kelahirannya, ICMI tidak memiliki tradisi kritis terhadap penguasa. ICMI selalu mendapat support dan servis spesial dari negara. Praktis sejak saat itu, kiprah ICMI hilang dari peredaran. Dalam bahasa teman-teman ICMI Jawa Tengah, hal ini dikenal dengan istilah “ICMI Tiarap”.        

3. Kiprah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Dalam Perpolitikan Nasional Pasca Reformasi (1998-2005)
Semua kalangan, termasuk kader ICMI sendiri, mengakui bahwa “setelah Habibie gagal mempertahankan kekuasaannya, kiprah ICMI sesudahnya menjadi pudar.”[44] Apalagi sosok penguasa pasca reformasi adalah Abdurrahman Wahid. Sosok yang sejak awal mengkritik keras keberadaan ICMI, dan dia juga menolak bergabung dengan ICMI. Ini semakin meyakinkan bahwa masa depan ICMI benar-benar akan suram. Sudah barang tentu Abdurrahman Wahid tidak “memanjakan” ICMI, sebagaimana yang dilakukan oleh Soeharto dan Habibie.
Menyadari akan posisinya yang lemah secara struktur politik, ICMI kemudian melakukan reorganisasi gerakannnya. Hal itu sebetulnya yang diinginkan Gus Dur sebelum dia menjabat sebagai Presiden RI yang ke-4. "Bukannya saya benci, tetapi betapa dalam kesedihan saya melihat keberadaan ICMI sekarang ini. Saya masih menunggu berita ICMI apakah bisa melakukan reorganisasi,"[45] kata Gus Dur ketika menghadiri acara dialog dengan pejabat teras Universitas Islam Malang (UNISMA) pada hari Minggu, 3 Maret 1997.
Restrukturisasi dan reparadigmatisasi gerakan ICMI sangat tanpak pada Anggran Dasar ICMI, sebagaimana yang sedikit disinggung di muka. Perubahan pada Pasal 4 tentang asas ICMI sejak Muktamar III tahun 2000, yang semula “berasaskan Pancasila” menjadi “berasaskan Islam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila” bukan tanpa alasan. Dari perubahan isi pasal itu, ICMI sebetulnya hendak menunjukkan bahwa dirinya saat ini tampil dengan wajah baru. ICMI tidak lagi “terikat” dengan ideologi negara. Penggunaan Islam sebagai asas ICMI, semakin menegaskan tipologi Islam yang dipetakan Gus Dur. Dalam tipologi itu, ICMI termasuk ke dalam Islam alternatif yang berusaha melakukan islamisasi kehidupan sosial politik.   
Asas Islam itu kemudian dipertegas lagi dengan Pasal 5 tentang tujuan ICMI yang hendak mewujudkan tata kehidupan masyarakat madani. A.S. Hikam dan kalangan Nahdlatul Ulama pada umumnya tidak sepakat dengan penggunaan kata madani, walaupun kata ini dikonotasikan dengan masyarakat sipil atau civil society.. Hikam menyatakan bahwa dirinya setuju penggunaan istilah “masyarakat madani” apabila kata itu hanya penerjemahan dari bahasa aslinya, civil society. Tetapi, pemahaman “masyarakat madani” versi Nurcholis Madjid dan Dawam Rahardjo, kata Hikam, menunjukkan arti berbeda dengan civil society. Mereka memposisikan bahwa Islam merupakan visi alternatif yang harus dijadikan sistem nilai bagi masyarakat Indonesia. Jika demikian, tambah Hikam, mereka melihat Islam sebagai dominant ideology . Padahal Islam di Indonesia adalah salah satu sistem dari banyak sistem (value systems). [46]      
Dari perubahan-perubahan filosofis itu, tampaknya ICMI hendak membatasi diri dari percaturan politik nasional, sebab dia sadar kalau dirinya tidak akan bisa bergerak bebas di era pemerintahan Abdurrrahman Wahid. Tokoh-tokoh ICMI, kemudian mundur dengan teratur untuk kembali ke habitatnya masing-masing.
Tetapi, ketika realitas politik nasional mengalami perubahan kembali, di mana Gus Dur sedang tersandung masalah dalam kekuasaannya, ICMI mulai keluar lagi dari peraduannya. ICMI secara tibat-tiba come back ke arena politik. Tabloid BANGKIT, misalnya, menurunkan berita “ICMI dan Habibi Dukung Mega Gantikan Gus Dur”.[47]
Disebutkan bahwa kekuatan Habibie melalui Ahmad Tirtosudiro, Plh. Ketua Umum ICMI yang menggantikan Habibie, dan dua saudaranya, Timmy dan Fanny Habibie bangkit kembali. Mereka dikabarkan mulai merapat ke Megawati.[48] Hal serupa juga dilakukan oleh Amin Rais. Di situ bertemu para barisan sakit hati, yaitu orang-orang yang sakit hati atau pernah dikecewakan Gus Dur.
Habibie dan ICMI-nya jelas sakit hati kepada Gus Dur, karena sejak awal kelahiran ICMI, Gus Dur sering melontarkan kritik-kritik pedas yang sulit untuk dilupakan. Megawati sangat sakit hati kepada Gus Dur ketika dia gagal menduduki kursi kepresidenan, karena ulah Gus Dur dan permainan Amin Rais yang kini malah duduk satu meja dengan Megawati. Sedangkan perseteruan Amin-Gus Dur belakangan ini semakin memuncak, bahkan sudah masuk pada masalah-masalah pribadi. Gus Dur menyatakan bahwa Amin ingin menjadi Presiden, karena itu ia terus menggoyangnya. Amin membalasnya: “Gus Dur masih sehat, dia tidak akan lupa terhadap apa yang dilakukannya.” Dari manuver-manuver para elit politik itu, Gus Dur akhirnya tumbang juga.
Kini pemerintahan ada di genggaman Megawati. Setidak-tidaknya ICMI bisa bernafas lega. Megawati secara historis tidak konfrontasi dengan ICMI. Walaupun ICMI, secacara tidak langsung, juga turut memarginalkan Megawati dan PDI P-nya, ketika ICMI masih berselingkuh dengan rezim Orde Baru. Tetapi, masalah ICMI dengan Megawati tidak sekeras masalah ICMI dengan Abdurrahman Wahid.
Dalam posisi ini, ICMI juga tidak bisa berbuat apa-apa. Secara ideologis dan keagamaan, ICMI jauh berbeda dengan Megawati Cs. ICMI berideologi Islam puritan, sementara Megawati merupakan representasi kaum nasionalis-sekuler dengan basis dukungan utamanya berasal dari kalangan Hindu. Tentu dengan pemetaan ini, keduanya tidak memiliki ikatan apapun. Walaupun ICMI dan Megawati pernah duduk satu meja, hal itu semata-mata karena disatukan dengan kepentingan dan musuh bersama, yaitu Gus Dur. Pasca jatuhnya Gus Dur, hubungan ICMI dengan Megawati biasa-biasa saja. Tidak ada yang spesial.
Setelah peta politik berubah, ICMI mencoba meperjuangkan semangat sosial-keagamaan, yang seharusnya sejak awal memang menjadi plaform perjuangan ICMI. Surutnya kiprah ICMI dalam dunia politik juga diungkapkan oleh Jimly Assiddiqie: “setelah reformasi peran politik ICMI makin surut. Ini dikarenakan sudah banyak partai Islam yang tampil memperjuangkan hal itu.”[49] Pernnyataan disampaikan Jimly ketika melantik pengurus Organisasi Wilayah (Orwil) ICMI Sulawesi Utara periode 2000-2005 pada tanggal 11 Februari 2001.
Kemudian pada ketika pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan. Jusuf Kalla memimpin negara ini melelaui pemilihan langsung pada 2004 lalu, ICMI terasa menemukan semangat untuk bangkit kembali.. Melalui Jusuf Kalla, Islam altenatif kembali berada di puncak kekuasaan. Jaring-jaring Orde Baru seakan-akan tearut kembali, walaupun dengan setting sosial politik dan keagaamaan masyarakat Indonesia sudah jauh berbeda dengan zaman kejayaan ICMI.
Ada beberapa “kesamaan” komposisi antara pemerintahan saat ini dengan era Orde Baru. Pertama, SBY dan Soeharto sama-sama memiliki bacground militer yang juga mendapat dukungan bagus dari korpnya. Kedua, Jusuf Kalla adalah pengusaha sukses dengan kekuatan Golkar yang kini sedang dia pimpin. Ketiga, ketua ICMI saat ini, periode 2000-2010, Marwah Daud Ibrahim, berasal dari Golkar, sama seperti ketika Habibie menjadi Ketua Umum ICMI. Dan SBY tampaknya sangat menyambut positif agar ICMI bangkit kembali. Bahkan SBY-lah yang membuka acara Muktamar yang diselenggarakan di Makassar 4-7 Desember 2005. Hanya saja yang paling berbeda adalah, SBY dan Kalla-Marwah tidak berasal dari partai politik. Adalah figur tunggal di Partai Demokrat, sementara Kalla dan Marwah adalah pentolan partai Golkar. Tarik menarik kepentingan antara Demokrat dan Golkar bisa menjadi kendala perjalanan ICMI ke depan.
Yang jelas, masa depan ICMI saat ini jauh lebih baik dari era Abdurrahman Wahib dan Megawati. Fenomena ini juga terasa hingga Orwil-Orwil di daerah. Taruhlah, ICMI Jateng, yang sudah merumuskan kebangkitan ICMI sejak awal 2005 lalu, juga bertekad bulat untuk melakukan pembaruan di tubuh ICMI. Ini tidak lepas dari konfigurasi politik nasional yang tampaknya bisa menguntungkan ICMI. 

E.    KESIMPULAN

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ICMI juga memiliki peran dalam perpolitikian nasional. Kiprah ICMI dalam dunia politik paling kentara di era Orde Baru. Bahkan sejak awal berdirinya ICMI penguasa Orde Baru terlibat aktif dalam membidani lahirnya wadah cendekiawan ini. Bahkan, Habibie yang menjabat Menristek ketika itu, sejak sebelum Muktamar I sudah terpilih menjadi Ketua Umum ICMI, dan terpilih untuk kedua kalinya pada Muktamar II ICMI di Jakarta. Sejak saat itu pula, ICMI lebih pas disebut sebagai alat legitimasi politik Orde Baru ketimbang sebagai ikatan cendekiawan muslim. Sebab, ICMI tidak bisa berbuat banyak terhadap penindasan yang dilakukan penguasa, malah secara tidak langung menjadi supporter kekejaman yang dilakukan masa Pemerintahan Orde Baru.
Kirpah ICMI dalam perpoitikan nasional mengalami pasang surut, tergantung pada rezim yang berkuasa. Pada era Orde Baru, ICMI bisa dibilang sangat jaya. Karena ICMI menjadi anak mas sekaligus "anjing peliharaan rezim Soeharto". Pada saat Habibie menggantikan Soeharto, eksistensi ICMI mulai melemah. Sebab, iklim politik sudah berbeda 180 derajat dengan iklim politik di era Soeharto. Tetapi ICMI masih bisa bertahan. ICMI mulai "gulung tikar" dan tiarap semenjak Gus Dur dan Megawati menjadi Presiden RI menjadi Presiden ke-4 dan ke-5. Sejak SBY-Kalla menduduki pucuk kekuasaan, masa depan ICMI tampaknya mulai sedikit agak cerah kembali. Namun, hingga akhir 2005, masih belum ada kiprah yang cukup signifikan.    





DAFTAR PUSTAKA


 

Anwar, M. Syafi’i, (ed), ICMI: Kelahiran dan Misi, Jakarta, Departemen Pembinaan Sumber Daya Manusia ICMI, 1994.

______________, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia (Sebuah Kajian Tentang Politik Cendekiawan Muslim Orde Baru), Jakarta, Paramadina, 1995.

Bahar, Ahmad, et.al., ICMI, Kekuasaan dan Demokrasi, Yogyakarta, Pena Cendekia Indonesia, 1995.

Geertz, Clifford, The Religion of Java, London, Free Press of Glencoe, 1964.

Hafner, Robert William, ICMI dan Perjuangan Menuju Kelas Menengah Indonesia, diterjemahkan oleh Endi Haryono dari Islam, State, and Civil Society (ICMI and The Struggle for The Indonesian Middle Class, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1995.

Hikam, Muhammad A.S., “Civil Society” Sebagai Proyek Pencerahan, dalam Tashwirul Afkar, Islam dan Civil Society di Indonesia: Dari Konsevatisme menuju Krikik, Jakarta, Lakpesdam NU kerjasama dengan TAF, Edisi No. 7 Tahun 2000.

__________________., Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, Jakarta, Erlangga, 2000.






Haynes, Jeff, Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga; Gerakan Politik Baru Kaum Pinggiran, Yakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000.

Madjid, Nurcholish, Pikiran-pikiran Nurcholish Muda; Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan, Jakarta: Mizan, 1993.
Makka, A. Makmur dan Mashad, Dhurorudin, ICMI: Dinamika Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Pustaka CIDESINDO, 1996.

Muhammd, Akbar, (ed), ICMI dan Harapan Umat, Jakarta, Yayasan Penerbitan Islam, 1991.

Organisasi Wilayah Jakarta, Buku Saku Anggota ICMI 1995-2000.

Saparie, Guntoro, Upaya Revitalisasi ICMI Jateng, Suara Merdeka, Selasa 06 Juni 2006.

Sholahuddin, Afif, et.al., Membangun Centrum Gerakan di Era Liberalisasi, Jakarta, PB. PMII, 2004.

Tebba, Sudirman, Islam Menuju Era Reformasi, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2001.

Wahid, Abdurrahman, Peta Politik Orde Baru; Sebuah Pengantar, dalam Kesaksian Reformasi, Jakarta, PB. PMII, 2000.

Zon, Fadli, Politik Huru Hara Mei 1998, Jakarta, Institute for Policy (IPS), 2004.




[1] Walaupun bukan parpol, sejak awal berdirinya, dalam hemat saya, ICMI tidak bisa lepas dari jaring-jaring kekuasaan Orde Baru yang pada akhir 1980-an mulai menyadari kekuatan dan potensi umat Islam Indonesia. Dan ICMI sendiri, walaupun secara tidak langsung, terlibat dalam dunia politik itu. Atas dasar itulah, saya berasumsi bahwa ICMI juga turut berkiprah dalam peta politik nasional. Sehingga saya memutuskan menggunakan kata kiprah yang berkonotasi “keterlibatan”.
[2] Clifford Geertz, The Religion of Java, London, Free Press of Glencoe, 1964, hlm. 6
[3] Perilaku politik Orde Baru itu, dalam pandangan Abdurrahman Wahid, merupakan konstruksi psikis dirinya yang secara sengaja terus menerus memelihara alam bawah sadar traumatiknya: pemberontakan komunis, demokrasi liberal, gerakan separatis dan negara Islam. Melalui kombinasi dan taruma historis inilah Orde Baru mencapai legitimasinya. Namun legitimasi itu sesungguhnya tidak dicapai secara hegemonik, dalam arti kekuasaan yang diterima dengan suka rela tanpa perlu dipaksakan melalui kekerasan. Sebaliknya, legitimasi Orde Baru dikawal dengan sangat ketat dan diamankan secara sistematis, seperti pembatasan partai, penelitian khusus calon anggota parlemen, larangan oposisi, indoktrinasi ideologi dan teknik-teknik intelejen lainya. Lihat, Abdurrahman Wahid, Peta Politik Orde Baru; Sebuah Pengantar, dalam Kesaksian Reformasi, Jakarta, PB. PMII, 2000, hlm. 4-5     
[4] Pembatasan ini, selain karena trauma historis terhadap pemberontakan-permberontakan yang dilakukan sekelompok umat Islam dalam mendirikan negara Islam, menurut Robert W. Hefner dikarenakan secara prinsip pemerintah Orde Baru yang didominasi militer tidak memiliki kedekatan dengan Islam. Para elit Orde Baru dibesarkan dalam lingkungan Hindu-Jawa sehingga mereka lebih bercorak abangan. Robert William Hafner, ICMI dan Perjuangan Menuju Kelas Menengah Indonesia, diterjemahkan oleh Endi Haryono dari Islam, State, and Civil Society (ICMI and The Struggle for The Indonesian Middle Class, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1995, hlm. 5 
[5] Afif Sholahuddin, et.al., Membangun Centrum Gerakan di Era Liberalisasi, Jakarta, PB. PMII, 2004, hlm. 25
[6] Hafner, op.cit., hlm. 53 dan 72
[7] ibid, hlm. 1
[8] M. Syafi’i Anwar (ed), ICMI: Kelahiran dan Misi, Jakarta, Departemen Pembinaan Sumber Daya Manusia ICMI, 1994, hlm. 11-12. 
[9] A. Makmur Makka dan Dhurorudin Mashad, ICMI: Dinamika Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Pustaka CIDESINDO, 1996, hlm. 8
[10] ibid, hlm. 30
[11] Ahmad Bahar, et.al., ICMI, Kekuasaan dan Demokrasi, Yogyakarta, Pena Cendekia Indonesia, 1995, hlm. 24
[12] Makka dan Mashad, op. cit., hlm. 23
[13] ibid., hlm. 35
[14] Hefner, ibid., 170 hlm.
[15] Bahar, et.al., op.cit.,  212 hlm. 
[16] Makka dan Mashad, op.cit., 172 hlm.
[17] M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia (Sebuah Kajian Tentang Politik Cendekiawan Muslim Orde Baru), Jakarta, Paramadina, 1995, hlm. 251-325
[18] Sebetulnya, untuk memperkaya dan menambah validitas data juga dibutuhkan wawancara dengan tokoh-tokoh atau para pengamat ICMI yang tahu persis tantang dinamika ICMI dalam kurun waktu 1995-2005. Tetapi karena keterbatasan dana, sekali lagi dana, maka hal itu tidak bisa dilakukan.
[19] Sejarah kelahiran ICMI dalam penelitian ini, semuanya di sarikan dari berbagai sumber yang saling melengkapi, di antaranya: M. Syafii Anwar (ed), ICMI …, op.cit., hlm. 9-17; M. Syafii Anwar, Pemikiran …, op.cit., hlm. 251-61; Hefner, ICMI …, op.cit., 37-52; dan Makka & Mashad, ICMI …, op.cit., hlm. 1-9.  Namun demikian, di sini tidak akan diulas secara panjang lebar tentang proses kelahiran ICMI. Sebab, 9 halaman surat kabar Kompas pun tidak akan cukup untuk menulis sejarah kelahiran ICMI. Ulasan sejarah ICMI di sini sekedar menggambarkan secara sekilas bagaimana upaya-upaya, perjuangan, suka duka, berikut pro-kontra kelahiran ICMI sebagai salah satu organisasi masyarakat di Indonesia.   
[20] Anwar, op.cit., hlm. 197-8
[21] Anwar, op.cit., hlm. 296
[22] Hefner, op.cit., hlm. 47
[23] Makka dan Mashad, op.cit., hlm. 42
[24] ibid, hlm. 48
[25] ibid., 41
[26] ibid., 42-43
[27] Hefner, op.cit., hlm. 89
[28] Anwar, op.cit., hlm. 304
[29] ibid, hlm. 298
[30] ibid. hlm. 300
[31] Anwar, op.cit., hlm. 300
[32] Hefner, op. cit., hlm. xxi
[33] Akbar Muhammd (ed, ICMI dan Harapan Umat, Jakarta, Yayasan Penerbitan Islam, 1991, hlm. 269 (di bagian lampiran). Bisa juga di cek dalam Hefner, op.cit., hlm. 131-2 (juga di bagian lampiran).
[34] Lihat, Buku Saku Anggota ICMI 1995-2000. 
[35] Anwar, op.cit., 304
[36] Sudirman Tebba, Islam Menuju Era Reformasi, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2001, hlm. 130
[37] Fadli Zon, Politik Huru Hara Mei 1998, Jakarta, Institute for Policy (IPS), 2004, hlm. 145
[38] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0011/09/nasional/icmi08.htm
[39] Islam alternatif merupakan salah satu dari tiga tipologi Abdurrahman Wahid tentang gerakan umat Islam Indonesia dalam menyikapi dan merespon dinamika politik di bawah Orde Baru. Tipe Islam lainnya adalah Islam budaya dan Islam social-budaya. Islam alternatif adalah yang meyakini Islam sebagai sebuah perangkat ajaran yang memiliki klaim total dan universal yang seharusnya dijadikan alternatif pertama dalam kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk dalam konteks politik. Lihat, Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, Jakarta, Erlangga, 2000, hlm. 189
[40] Hikam, op.cit,, hlm. 190
[41] Hikam, hlm. 191

[42] Baca Fadli Zon, op.cit., hlm. 21-38
[43] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0011/09/nasional/icmi08.htm
[44] Guntoro Saparie, Upaya Revitalisasi ICMI Jateng, Suara Merdeka, Selasa 06 Juni 2006
[45] http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/03/03/0019.html

[46] A.S. Hikam, “Civil Society” Sebagai Proyek Pencerahan, dalam Tashwirul Afkar, Islam dan Civil Society di Indonesia: Dari Konsevatisme menuju Krikik, Jakarta, Lakpesdam NU kerjasama dengan TAF, Edisi No. 7 Tahun 2000, hlm. 84-5   
[48] ibid